|
Oleh
: Liana Sriulina Br Sinulingga
PENYAKIT
GINJAL KRONIK (PGK)
A.
TINJAUAN TEORITIS MEDIS
1. DEFENISI
Penyakit ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan
gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh
gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan
elektrolit,menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam
darah). (Brunner & Suddarth, 2001;
1448)
Gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif
dan lambat,biasanya berlangsung beberapa tahun. (Price, 2006).
2. ETIOLOGI
a.
Infeksi misalnya pielonefritis kronik,
glomerulonefritis
b.
Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis
benigna, nefrosklerosis maligna,
stenosis arteria renalis
c.
Gangguan jaringan penyambung misalnya lupus
eritematosus sistemik, poliarteritis nodosa,sklerosis sistemik progresif
d.
Gangguan kongenital dan herediter misalnya penyakit
ginjal polikistik, asidosis tubulus ginjal
e.
Penyakit metabolik misalnya DM, gout, hiperparatiroidisme,
amiloidosis
f.
Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan
analgesik,nefropati timbal
g.
Nefropati obstruktif misalnya saluran kemih bagian
atas: kalkuli neoplasma, fibrosis netroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah:
hipertropi prostat, striktur uretra, anomali kongenital pada leher kandung
kemih dan uretra.
h.
Batu saluran kencing yang menyebabkan hidrolitiasis
3. MANIFESTASI
KLINIK
Manifestasi
klinik antara lain (Long, 1996 : 369):
a.
Gejala dini : lethargi, sakit kepala, kelelahan fisik
dan mental, berat badan berkurang, mudah tersinggung, depresi
b.
Gejala yang lebih lanjut : anoreksia, mual disertai
muntah, nafas dangkal atau sesak nafas baik waktu ada kegiatan atau tidak, edema
yang disertai lekukan, pruritis mungkin tidak ada tapi mungkin juga sangat
parah.
Manifestasi klinik
menurut (Smeltzer, 2001 : 1449) antara lain : hipertensi,
(akibat retensi cairan
dan natrium dari aktivitas sisyem renin -
angiotensin aldosteron), gagal jantung kongestif dan udem pulmoner
(akibat cairan berlebihan) dan perikarditis (akibat iriotasi pada lapisan
perikardial oleh toksik, pruritis, anoreksia, mual, muntah, dan cegukan,
kedutan otot, kejang, perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu berkonsentrasi).
Manifestasi klinik
menurut Suyono (2001) adalah sebagai berikut:
a.
Gangguan kardiovaskuler
Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat
perikarditis, effusi perikardiac dan gagal jantung akibat penimbunan cairan,
gangguan irama jantung dan edema.
b.
Gangguan Pulmoner
Nafas dangkal, kussmaul, batuk dengan sputum kental dan
riak, suara krekels.
c.
Gangguan
gastrointestinal
Anoreksia, nausea, dan fomitus yang berhubungan dengan
metabolisme protein dalam usus, perdarahan pada saluran gastrointestinal,
ulserasi dan perdarahan mulut, nafas bau ammonia.
d.
Gangguan
muskuloskeletal
Resiles leg sindrom ( pegal pada kakinya sehingga selalu
digerakan ), burning feet syndrom ( rasa kesemutan dan terbakar, terutama
ditelapak kaki ), tremor, miopati ( kelemahan dan hipertropi otot – otot
ekstremitas.
e.
Gangguan Integumen
kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning – kuningan
akibat penimbunan urokrom, gatal – gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapuh.
f.
Gangguan endokrim
Gangguan seksual : libido fertilitas dan ereksi menurun,
gangguan menstruasi dan aminore. Gangguan metabolic glukosa, gangguan metabolic
lemak dan vitamin D.
g. Gangguan cairan
elektrolit dan keseimbangan asam dan basa
biasanya retensi garam dan air tetapi dapat juga terjadi
kehilangan natrium dan dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, hipomagnesemia,
hipokalsemia.
h. System hematologi
anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi
eritopoetin, sehingga rangsangan eritopoesis pada sum – sum tulang berkurang,
hemolisis akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana uremia toksik,
dapat juga terjadi gangguan fungsi trombosis dan trombositopeni.
4. ANATOMI
FISIOLOGI
Sistem urinarius
terdiri dari ginjal, ureter, kandung kemih dan uretra. Ginjal merupakan organ
yang berpasangan dengan berat
masing-masing kurang lebih 125 gram, terletak di sebelah lateral vertebra
torakalis bawah. Darah dialirkan kedalam setiap ginjal melalui arteri renalis
dan keluar melalui vena renalis. Arteri renalis berasal dari aorta abdominalis
dan vena renalis membawa darah kembali
ke vena cava inferior. Ginjal dengan efesien dapat membersihkan bahan limbah
karena aliran darah melalui ginjal jumlahnya sangat besar, 25% dari curah
jantung.
Urine terbentuk
dalam unit-unit fungsional ginjal yang disebut nefron. Urine yang terbentuk
akan mengalir ke dalam duktus pengumpul dan tubulus renal yang menyatu
membentuk pelvis renal. Setiap pelvis renal akan membentuk ureter. Ureter
merupakan pipa panjang dengan dinding sebagian besar otot polos. Organ ini
menghubungkan setiap ginjal dengan kandung kemih dan berfungsi sebagai pipa
untuk menyalurkan urin.
Kandung kemih
merupakan organ berongga yang terletak disebelah anterior tepat dibelakang os
pubis. Organ ini berfungsi sebagai wadah sementara untuk menampung urin.
Sebagian besar dindingnya tersusun dari otot polos yang dinamakan muskulus
detrusor. Kontraksi otot ini terutama berfungsi saat akan mengosongkan kandung
kemih pada saat buang air kecil.
Fungsi ginjal
yang utama mengatur cairan serta elektrolit dan komposisi asam basa cairan
tubuh, mengeluarkan produk akhir metabolik dari dalam darah, dan mengatur
tekanan darah. Urin yang terbentuk diangkut dari ginjal melalui ureter ke dalam
kandung kemih. Pada saat urinasi, kandung kemih berkontraksi dan urine akan di
ekskresikan melalui uretra.
Ciri penting
sistem renal terletak pada kemampuannya untuk beradaptasi terhadap beban muatan
cairan yang sangat bervariasi, sesuai kebiasaan dan pola hidup individu. Ginjal
harus mampu mengekskresikan berbagai produk limbah makanan dan metabolism dalam
jumlah besar. Setiap hari jumlah produk tersebut berkisar 1-2 liter air, 6-8
gram garam, 6-8 gram kalium klorida, dan 70 mg asam, serta ureum yang merupakan
produk akhir metabolism protein.
5. PATOFISIOLOGI
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus
dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh).
Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang
meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR / daya
saring. Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari
nefron–nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar
daripada yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan
haus. Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguri
timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada
pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila
kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal
yang demikian nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih
rendah itu. ( Barbara C Long, 1996, 368)
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya
diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan
mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah maka
gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis.
(Brunner & Suddarth, 2001 : 1448).
Klasifikasi Gagal ginjal kronik dibagi 3 stadium :
-
Stadium 1 : penurunan cadangan ginjal, pada stadium
kadar kreatinin serum normal dan penderita asimptomatik.
-
Stadium 2 : insufisiensi ginjal, dimana lebihb dari 75
% jaringan telah rusak, Blood Urea Nitrogen ( BUN ) meningkat, dan kreatinin
serum meningkat.
-
Stadium 3 : gagal ginjal stadium akhir atau uremia.
K/DOQI merekomendasikan pembagian CKD berdasarkan stadium dari tingkat
penurunan LFG :
-
Stadium 1 : kelainan ginjal yang ditandai dengan
albuminaria persisten dan LFG yang masih normal ( > 90 ml / menit / 1,73 m2
-
Stadium 2 :
Kelainan ginjal dengan albuminaria persisten dan LFG antara 60-89 mL/menit/1,73
m2
-
Stadium 3 :
kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59 mL/menit/1,73m2
-
Stadium 4 : kelainan ginjal dengan LFG antara
15-29mL/menit/1,73m2
-
Stadium5 : kelainan ginjal dengan LFG < 15mL/menit/1,73m2
atau gagal ginjal terminal.
Untuk menilai GFR ( Glomelular Filtration Rate ) / CCT ( Clearance
Creatinin Test ) dapat digunakan dengan rumus :
Clearance creatinin ( ml/ menit ) = (
140-umur ) x berat badan ( kg )
72 x creatini serum
Pada wanita hasil tersebut dikalikan dengan 0,85
6. PENATALAKSANAAN PENGOBATAN MEDIK
Penatalaksanaan
keperawatan pada pasien dengan CKD dibagi tiga yaitu :
a) Konservatif
-
Dilakukan pemeriksaan lab.darah dan urin
-
Observasi balance cairan
-
Observasi adanya odema
-
Batasi cairan yang masuk
b) Dialysis
-
peritoneal dialysis
biasanya dilakukan pada kasus – kasus
emergency.
Sedangkan dialysis yang bisa
dilakukan dimana saja yang tidak bersifat akut
adalah CAPD ( Continues Ambulatori Peritonial Dialysis )
-
Hemodialisis
Yaitu dialisis
yang dilakukan melalui tindakan infasif di vena dengan menggunakan mesin. Pada
awalnya hemodiliasis dilakukan melalui daerah femoralis namun untuk mempermudah
maka dilakukan :
-
AV fistule : menggabungkan vena dan arteri
-
Double lumen : langsung pada daerah jantung ( vaskularisasi
ke jantung )
c) Operasi
-
transplantasi ginjal.
7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Didalam memberikan pelayanan
keperawatan terutama intervensi maka perlu pemeriksaan penunjang yang
dibutuhkan baik secara medis ataupun kolaborasi antara lain :
1.Pemeriksaan lab.darah
-
hematologi
Hb, Ht,
Eritrosit, Lekosit, Trombosit
-
RFT ( renal fungsi test )
ureum dan
kreatinin
-
LFT (liver fungsi test )
-
Elektrolit
Klorida, kalium,
kalsium
-
koagulasi studi
PTT, PTTK
-
BGA
2. Urine
-
urine rutin
-
urin khusus : benda keton, analisa kristal batu
3. pemeriksaan kardiovaskuler
-
ECG
-
ECO
4.
Radidiagnostik
-
USG abdominal
-
CT scan abdominal
-
BNO/IVP, FPA
-
Renogram
-
RPG ( retio pielografi )
8. KOMPLIKASI
Komplikasi yang
mungkin timbul akibat gagal ginjal kronis antara lain:
1. Hiperkalemia,
Akibat penurunan eksresi asidosis metabolic, katabolisme dan masukan diit
berlebih
2. Perikarditis,
efusi perincalkdial dan temponade jantung
3. Hipertensi,
Akibat retensi cairan dan natrium serta mal fungsi sistem rennin angioaldosteron
4. Anemia,
Akibat penurunan eritroprotein, rentang usia sel darah merah, pendarahan gastrointestinal
akibat iritasi
5. Penyakit
tulang, Akibat retensi fosfat kadar kalium serum yang rendah metabolisme
vitamin D, abnormal dan peningkatan kadar aluminium.
9. PROGNOSIS
Prognosa
penyakit ini akan baik bila mengikuti peraturan diit dari bagian gizi,
mengikuti semua peraturan khusus penyakit ginjal agar dapat memperpanjang
hidup. Bila tidak mengikuti aturan akan memperberat komplikasi dan dapat
menyebabkan kematian.
B. TINJAUAN TEORITIS KEPERAWATAN
1.
Identitas pasien
dan penanggung jawab
Identitas pasien diisi mencakup nama, umur, jenis
kelamin, status pernikahan, Agama, pendidikan, pekerjaan,suku bangsa, tgl masuk
RS, alamat. Untuk penangung jawab dituliskan nama, umur, jenis kelamin, agama,
pendidikan, pekerjaan, alamat.
2.
Riwayat Kesehatan
Mengkaji keluhan
utama apa yang menyebabkan pasien dirawat. Apakah penyebab dan pencetus
timbulnya penyakit, bagian tubuh yang mana yang sakit, kebiasaan saat sakit
kemana minta pertolongan, apakah diobati sendiri atau menggunakan fasilitas
kesehatan. Apakah ada alergi, apakah ada kebiasaan merokok, minum alkohol, minum kopi atau minum obat-obatan.
3.
Riwayat Penyakit
Penyakit apa yang pernah diderita oleh pasien, riwayat
penyakit yang sama atau penyakit lain yang pernah di derita oleh pasien yang
menyebabkan pasien dirawat. Adakah riwayat penyakit yang sama diderita oleh
anggota keluarga yang lain atau riwayat penyakit lain yang bersifat genetik
maupun tidak.
4.
Pemeriksaan Fisik
·
Keadaan umum: bagaimana keadaan pasien yang
menyebabkan dirawat. Dilakukan pemeriksaan tekanan
darah, nadi dan suhu. Nadi dapat
meningkat pada keadaan kesakitan pada
retensi urine akut, dehidrasi sampai syok
pada retensi urine serta urosepsis sampai
syok – septik.
·
Kepala dan leher,
apakah pasien mengeluh sakit kepala, penglihatan apakah ada masalah seperti
kabur, penglihatan ganda, pakai kacamata atau tidak, apakah pernah operasi
mata. Pendengaran apakah ada gangguan seperti nyeri, radang atau berdengung.
Hidung apakah ada polip, epitaksis, sinus dan alergi. Tenggorokan dan mulut
dilihat apakah ada caries, gigi palsu, gangguan bicara, gangguan menelan, dan
apakah ada pembesaran kelenjar leher.
·
Sistem
pernafasan, nilai frekuensi nafas, kualitas, suara dan jalan nafas. Pada
perkusi apakah ada cairan atau massa, apakah ada ronchi, wheezing, krepitasi.
Apakah ditemukan clubbing finger.
·
Sistem pencernaan, turgor kulit elatis atau
tidak, bibir lembab atau tidak, mukosa adakah radang, warna kemerahan atau
pucat. Kaji abdomen pada ke empat kuadran, auskultasi bising usus.
Pemeriksaan abdomen juga dilakukan dengan tehnik
bimanual untuk mengetahui adanya hidronefrosis,
dan pyelonefrosis. Pada daerah supra
simfisis pada keadaan retensi akan
menonjol. Saat palpasi terasa adanya
ballotemen dan pasien akan terasa ingin
miksi. Perkusi dilakukan untuk mengetahui ada
tidaknya residual urine. Rectal touch / pemeriksaan
colok dubur bertujuan untuk menentukan
konsistensi sistim persarafan unit vesiko
uretra dan besarnya prostat. Dengan rectal
toucher dapat diketahui derajat dari BPH,
yaitu : derajat I beratnya ± 20 gram, derajat
II beratnya antara 20 – 40 gram, derajat
III beratnya > 40 gram.
·
Sistem
kardiovaskuler, observasi bentuk dada pasien, apakah ada sianosis, capillary
refill time, apakah tampak atau teraba ictus cordis, pembesaran jantung, BJ I,
BJ II, gallop, murmur.
·
Sistem
persarafan, kaji bagaimana tingkat kesadaran, GCS, adanya kejang, kelumpuhan,
adakah gangguan dalam mengatur gerak, reflex abnormal, kaji cranial nerves.
·
Sistem
musculoskeletal, kaji adanya nyeri otot, reflex sendi, kekuatan otot, atropi,
range of motion.
·
Sistem integumen,
nilai warna, turgor, kelembaban dan kelainan dari kulit.
·
Sistem reproduksi, pada pria adakah pembesaran
prostat. Pemeriksaan skrotum untuk menentukan
adanya epididimitis
·
Sistem
perkemihan, nilai frekuensi buang air kecil dan jumlahnya, kaji penis
dan uretra untuk mendeteksi kemungkinan
stenose meatus, striktur uretra, batu
uretra, karsinoma maupun fimosis.
5. Data Fokus ( kemungkinan ditemukan DO & DS )
DO: ekspresi wajah tampak kesakitan,
memegang bagian perut /pinggang yang sakit,
DS:
pasien mengatakan sakit saat
buang air kecil, setelah buang air kecil rasanya tidak lampias,, tidak
bisa buang angin.
C. ASUHAN KEPERAWATAN
DIAGNOSA
KEPERAWATAN
1. Penurunan curah jantung
berhubungan dengan beban jantung yang meningkat.
2. Gangguan keseimbangan cairan
dan elektrolit berhubungan dengan edema
sekunder : volume cairan tidak seimbang oleh
karena retensi Na dan H2O)
3.
Perubahan nutrisi berhubungan dengan anoreksia, mual,
muntah
4.
Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi
sekunder:
kompensasi melalui alkalosis respiratorik
- Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pruritis
6.
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan oksigenasi
jaringan yang tidak adekuat, keletihan
7.
Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan tindakan medis
(hemodialisa) berhubungan dengan salah interpretasi informasi.
- Berduka disfungsional b.d kehilangan atau perubahan gaya hidup, perubahan
Penampilan.
- Ansietas b.d proses penyakitnya.
INTERVENSI
Penurunan curah
jantung berhubungan dengan beban jantung yang meningkat
Tujuan: Penurunan curah jantung tidak terjadi
kriteria hasil : mempertahankan curah jantung dengan
bukti tekanan darah dan frekuensi jantung dalam batas normal, nadi perifer kuat
dan sama dengan waktu pengisian kapiler
Intervensi:
a.
Auskultasi bunyi jantung dan paru
R: Adanya takikardia frekuensi jantung tidak teratur
b.
Kaji adanya hipertensi
R: Hipertensi dapat terjadi karena gangguan pada sistem
aldosteron-renin-angiotensin (disebabkan oleh disfungsi ginjal)
c.
Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikan lokasi, radiasi,
beratnya (skala 0-10)
R: HT dan GGK dapat menyebabkan nyeri
d.
Kaji tingkat aktivitas, respon terhadap aktivitas
R: Kelelahan dapat menyertai GGK juga anemia
Gangguan keseimbangan
cairan dan elektrolit berhubungan dengan edema sekunder : volume cairan tidak
seimbang oleh karena retensi Na dan H2O)
Tujuan: Mempertahankan
berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan dengan kriteria hasil: tidak ada
edema, keseimbangan antara input dan output
Intervensi:
a.
Kaji status cairan dengan menimbang BB perhari,
keseimbangan masukan dan haluaran, turgor kulit tanda-tanda vital
b.
Batasi masukan cairan
R: Pembatasan cairan akn menentukan BB ideal, haluaran
urin, dan respon terhadap terapi
c.
Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan
cairan
R: Pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga
dalam pembatasan cairan
d.
Anjurkan pasien / ajari pasien untuk mencatat
penggunaan cairan terutama pemasukan dan haluaran
R: Untuk mengetahui keseimbangan input dan output
Perubahan nutrisi:
kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia, mual, muntah
Tujuan: Mempertahankan
masukan nutrisi yang adekuat dengan kriteria hasil: menunjukan BB stabil
Intervensi:
a.
Awasi konsumsi makanan / cairan
R: Mengidentifikasi kekurangan nutrisi
b.
Perhatikan adanya mual dan muntah
R: Gejala yang menyertai akumulasi toksin endogen yang
dapat mengubah atau menurunkan pemasukan dan memerlukan intervensi
c.
Beikan makanan sedikit tapi sering
R: Porsi lebih kecil dapat meningkatkan masukan makanan
d.
Tingkatkan kunjungan oleh orang terdekat selama makan
R: Memberikan pengalihan dan meningkatkan aspek sosial
e.
Berikan perawatan mulut sering
R: Menurunkan ketidaknyamanan stomatitis oral dan rasa
tak disukai dalam mulut yang dapat mempengaruhi masukan makanan
Perubahan pola nafas
berhubungan dengan hiperventilasi sekunder: kompensasi melalui alkalosis
respiratorik
Tujuan: Pola nafas kembali normal / stabil
Intervensi:
a.
Auskultasi bunyi nafas, catat adanya crakles
R: Menyatakan adanya pengumpulan sekret
b.
Ajarkan pasien batuk efektif dan nafas dalam
R: Membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran O2
c.
Atur posisi senyaman mungkin
R: Mencegah terjadinya sesak nafas
d.
Batasi untuk beraktivitas
R: Mengurangi beban kerja dan mencegah terjadinya sesak
atau hipoksia
Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan
pruritis
Tujuan: Integritas kulit dapat terjaga dengan kriteria hasil :
-
Mempertahankan kulit utuh
-
Menunjukan perilaku / teknik untuk mencegah kerusakan
kulit
Intervensi:
a.
Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor,
vaskuler, perhatikan kadanya kemerahan
R: Menandakan area sirkulasi buruk atau kerusakan yang dapat menimbulkan
pembentukan dekubitus / infeksi.
b.
Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit dan membran
mukosa
R: Mendeteksi adanya dehidrasi atau hidrasi berlebihan
yang mempengaruhi sirkulasi dan integritas jaringan
c.
Inspeksi area tergantung terhadap udem
R: Jaringan udem lebih cenderung rusak / robek
d.
Ubah posisi sesering mungkin
R: Menurunkan tekanan pada udem , jaringan dengan
perfusi buruk untuk menurunkan iskemia
e.
Berikan perawatan kulit
R: Mengurangi pengeringan , robekan kulit
f.
Pertahankan linen kering
R: Menurunkan iritasi dermal dan risiko kerusakan kulit
g.
Anjurkan pasien menggunakan kompres lembab dan dingin
untuk memberikan tekanan pada area pruritis
R: Menghilangkan ketidaknyamanan dan menurunkan risiko
cedera
h.
Anjurkan memakai pakaian katun longgar
R: Mencegah iritasi dermal langsung dan meningkatkan
evaporasi lembab pada kulit
Intoleransi aktivitas
berhubungan dengan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat, keletihan
Tujuan: Pasien dapat meningkatkan aktivitas yang dapat
ditoleransi
Intervensi:
a.
Pantau pasien untuk melakukan aktivitas
b.
Kaji fektor yang menyebabkan keletihan
c.
Anjurkan aktivitas alternatif sambil istirahat
d.
Pertahankan status nutrisi yang adekuat
Kurang pengetahuan
tentang kondisi, prognosis dan tindakan
medis (hemodialisa) berhubungan dengan salah interpretasi informasi.
a.
Kaji ulang penyakit/prognosis dan kemungkinan yang akan
dialami.
b.
Beri pendidikan kesehatan mengenai pengertian,
penyebab, tanda dan gejala CKD serta
penatalaksanaannya (tindakan hemodialisa ).
c.
Libatkan keluarga dalam memberikan tindakan.
d.
Anjurkan keluarga untuk memberikan support system.
e.
Evaluasi pasien dan keluarga setelah diberikan penkes.
Berduka
disfungsional b.d kehilangan atau perubahan gaya hidup,
perubahan penampilan
Tujuan: mampu
mengekspresikan apa yang diinginkan atau apa yang dirasakan secara terbuka.
Kriteria hasil: mampu
mendiskusikan kehilangan dan berpartisipasi dalam perencanaan dimasa datang.
Intervensi:
a. Kaji derajat penurunan tingkat koping pasien.
Rasional: informasi ini bermanfaat untuk memahami seberapa banyak
pasien mampu melakukan sesuatu untuk mempertahankan tingkat kemandiriannya yang
tertinggi dan untuk memberikan anjuran agar dapat membantu individu dalam
mengatasi kehilangan.
b. Hormati keinginan pasien untuk tidak berbicara.
Rasional: mungkin tidak siap
untuk menghadapi perasaan berduka.
c. Bersikap tulus, jangan memberikan jaminan yang
tidak pasti.
Rasional: ketulusan dapat meningkatkan hubungan saling percaya.
d. Berikan lingkungan yang terbuka dimana pasien
merasa bebas untuk dapat mendiskusikan perasaan dan masalah secara realistis.
Rasional: kemampuan komunikasi terapeutik seperti aktif mendengarkan,
diam, selalu bersedia, dan pemahaman dapat memberikan pasien kesempatan untuk
berbicara secara bebas dan berhadapan dengan perasaan.
e. Identifikasi tingkat rasa duka/disfungsi
Rasional: kecermatan akan memberikan pilihan intervensi yang sesuai
pada waktu individu menghadapi rasa duka dalam berbagai cara yang berbeda.
1) Penyangkalan: waspada terhadap tingkah laku
menghindar, rasa marah, menarik diri. Izinkan pasien untuk berbicara mengenai
apa yang menjadi pilihannya dan tidak mencoba untuk memaksa pasien ”menghadapi
fakta”.
Rasional: menolak realita adalah fase penting dimana pasien akan
melindungi dirinya dari rasa sakit dan realita mengenai ancaman kehilangan.
2) Marah: catat tingkah laku menarik diri, kurangnya
kerja sama, dan ekspresi langsung marah. Pahami bahasa tubuh dan kaji artinya
dengan pasien. Dorong/izinkan verbalisasi rasa marah dengan menghargai perasaan
dan persiapan batas-batas mengenai tingkah laku yang destruktif.
Rasional: penolakan akan menimbulkan perasaan marah, gusar, bersalah,
benci. Pasien akan menemukan bahwa sulit untuk menunjukkan rasa marah secara
langsung dan mungkin akan merasa bersalah mengenai rasa marah. Meskipun staf
sulit untuk berhadapan dengan tingkah laku marah, penerimaan akan hal tersebut
akan membuat pasien dapat mengatasi rasa marah dan mengarah pada tingkah laku
koping yang lebih efektif.
3) Tawar menawar: hati-hati terhadap pernyataan
seperti”...jika saya melakukan hal ini, maka akan menyelesaikan masalah”.
Izinkan verbalisasi tanpa konfrontasi mengenai realita.
Rasional: tawar menawar dengan pemberi perawatan atau Tuhan seringkali
terjadi, mungkin berguna untuk memilai resolusi dan penerimaan. Pasien mungkin
dapat mengatasi rasa bersalah mengenai hal-hal yang dilakukan dan yang tidak
dilakukan.
4) Depresi: berikan pasien izin dimana dia berada,
berikan kenyamanan dan juga perawatan untuk kebutuhan fisik.
Rasional: jika pasien tidak lagi dapat menolak realita kehilangan,
perasaan tidak berdaya dan putus asa akan menggantikan rasa marah. Pasien
membutuhkan informasi bahwa hal ini adalah perkembangan perasaan yang normal.
5) Penerimaan: menghargai kebutuhan pasien dan
harapannya untuk ketenangan, privasi dan berbicara.
Rasional: setelah melewati penyangkalan, rasa marah dan depresi, pasien
seringkali memilih untuk sendiri dan tidak ingin banyak berbicara pada saat
itu. Pasien mungkin masih memiliki sedikit harapan yang dapat mendukungnya
terhadap apapun yang terjadi saat itu.
f. Dengarkan dengan aktif pandangan pasien dan selalu
sedia untuk membantu jika diperlukan.
Rasional: proses berduka tidak berjalan dalam cara yang teratur, tetapi
fluktuasinya dengan berbagai aspek dari berbagai tingkat yang muncul pada suatu
kesempatan. Jika prosesnya bersifat disfungsional atau perpanjangan, intervensi
yang lebih agresif mungkin dibutuhkan untuk mempermudah proses.
g. Identifikasi dan solusi pemecahan masalah untuk keberadaan
respon fisik seperti makan, tidur dan aktivitas.
Rasional: mungkin dibutuhkan tambahan bantuan untuk berhadapan dengan
aspek-aspek fisik dari rasa berduka.
Ansietas b.d proses penyakitnya.
Tujuan: pasien memahami dan mendiskusikan rasa takut.
Kriteria hasil:
- Menunjukkan kewaspadaan akan perasaan ansietas dan
cara-cara sehat untuk menghadapinya
- Menunjukkan pemecahan masalah dan menggunakan
sumber-sumber secara efektif.
Intervensi Keperawatan:
a) Catat palpitasi, peningkatan denyut/frekuensi
pernafasan.
Rasional: perubahan tanda vital mungkin menunjukkan ansietas yang
dialami pasien.
b) Pahami rasa takut/ansietas. Validasi observasi
dengan pasien, misalnya ”apakah anda takut?”
Rasional: perasaan adalah nyata dan membantu pasien untuk terbuka
sehingga dapat mendiskusikan dan menghadapinya.
c) Kaji tingkat/realita bahaya bagi pasien dan tingkt
ansietas dengan mengamati tingkah laku seperti tangan yang mencekram, mata yang
membesar, alis berkerut, penyerangan verbal/fisik.
Rasional; respon individu bervariasi tergantung kultural yang
dipelajari. Persepsi yang menyimpang dari situasi mungkin dapat memperbesar
perasaan.
d) Catat pembatasan fokus perhatian (mis, konsentrasi
pasien terhadap suatu hal pada waktu tertentu).
Rasional; penyempitan fokus umumnya merefleksikan rasa takut/ kepanikan
yang luar biasa.
e) Observasi isi dan pola pembicaraan: cepat/lambat,
tekanan, kata-kata yang digunakan, tertawa.
Rasional: menyediakan petunjuk mengenai faktor-faktor seperti tingkat
ansietas, kemampuan untuk memahami kerusakan otak ataupun kemungkinan perbedaan
bahasa.
f) Nyatakan realita dari situasi seperti apa yang
dilihat pasien, tanpa mempertanyakan apa yang dipercaya.
Rasional; pasien mungkin perlu menolak realitas sampai siap untuk
menghadapinya. Sangat tidak berguna untuk memaksa pasien menghadapi kenyataan.
g) Evaluasi mekanisme koping yang digunakan untuk
berhadapan dengan perasaan ataupun ancaman yang sesungguhnya.
Rasional: penolakan dan regresi mungkin dapat
membantu mekanisme koping.
h) Ulangi mekanisme koping yang digunakan pada waktu
lampau, misalnya kemampuan memecahkan masalah, pengenalan/permintaan bantuan.
Rasional: memberi kesempatan untuk membangun sumber yang dapat
digunakan secara baik oleh pasien.
i) Pertahankan kontak dengan pasien atau orang
terdekat. Selalu sedia untuk mendengarkan dan bicara jika dibutuhkan.
Rasional: memantapkan hubungan, meningkatkan ekspresi perasaan dan
membantu pasien dan orang terdekat untuk melihat realita.
j) Identifikasi cara-cara dimana pasien mendapat
bantuan jika dibutuhkan.
Rasional; memberikan jaminan bahwa staf
bersedia untuk membantu.
k) Temani atau atur supaya ada seseorang bersama
pasien.
Rasional; dukungan yang terus menerus membantu pasien memperoleh
kembali kontrol lokus internal dan mengurangi ansietas ke tingkat yang dapat
diatasi.
l) Sediakan informasi yang akurat sesuai kebutuhan
pasien. Menjawab pertanyaan dengan bebas dan jujur dengan bahasa yang mudah
dimengerti.
Rasional: informasi yang kompleks atau informasi yang menimbulkan
ansietas dapat diberikan dalam jumlah yang dapat dibatasi, dan pada waktu
kesempatan meningkat dan fakta telah diberikan, individu akan menerima untuk
apa mereka telah siap.
m) Hindari
harapan kosong, misalnya pernyataan semua akan berjalan lancar. Lebih baik
menyediakan informasi yang spesifik seperti denyut jantung anda teratur, rasa
sakit dapat dengan mudah dikontrol dan itu yang kita inginkan.
Rasional: harapan palsu akan diinterpretasikan sebagai kurangnya
pemahaman atau kejujuran.
n) Gunakan sentuhan, sentuhan terapeutik, masase dan
terapi lainnya sesuai indikasi.
Rasional: membantu memenuhi kebutuhan dasar manusia, penurunan rasa
terisolasi dan membantu pasien untuk mengurangi perasaan kuatir. Sentuhan
terapeutik adalah metode menggunakan tangan secara langsung ke arah kekuatan
manusia untuk membantu ataupun untuk menyembuhkan.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta : EGC
Doenges E,
Marilynn, dkk. (1999). Rencana
Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perancanaan
dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta : EGC
Long, B C. (1996). Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses Keperawatan) Jilid
3. Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan
Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson. (1995). Patofisiologi Konsep Kllinis Proses-proses
Penyakit. Edisi 4. Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta
:EGC
Suyono, Slamet. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jilid I II. Jakarta.: Balai
Penerbit FKUI
Mansjoer, arif, et all (2000). Kapita
selekta kedokteran. Jilid II. Medika Aeskulapius FKUI: Jakarta.
Purnomo, B., B ( 2000), Dasar-dasar Urologi, Sagung Seto, Jakarta
Rendy, M.C & Margareth (2012). Asuhan Keperawatan Medikal Bedah dan
Penyakit Dalam. Nuha Medika: yokjakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar